Sabtu, 24 Desember 2011

Sayyidinaa


Mengucap kata "Sayyidinaa" untuk Beliau Muhammad SAW adlh bid'ah/dlolalah/sesat/neraka..BENARKAH demikian...Mari kita telusuri :
Ada sementara orang terkelabui oleh pengarang hadits palsu yang berbunyi: “Laa tusayyiduunii fis-shalah” artinya “Jangan menyebutku (Nabi Muhammad saw) sayyid di dalam sholat”. Tampaknya pengarang hadits palsu yang mengatas namakan Rasulallah saw. untuk mempertahankan pendiriannya itu lupa atau memang tidak mengerti bahwa didalam bahasa Arab tidak pernah terdapat kata kerja tusayyidu. Tidak ada kemungkinan sama sekali Rasulallah saw.mengucapkan kata-kata dengan bahasa Arab gadungan seperti yang dilukiskan oleh pengarang hadits palsu tersebut. Dilihat dari segi bahasanya saja, hadits itu tampak jelas kepalsuannya.
Namun untuk lebih kuat membuktikan kepalsuan hadits tersebut baiklah kami kemukakan ,berikut ini, beberapa pendapat yang dinyatakan oleh para ulama.

Dalam kitab Al-Hawi , atas pertanyaan mengenai hadits tersebut Imam Jalaluddin As-Suyuthi menjawab tegas : “Tidak pernah ada (hadits tersebut), itu bathil !”.

Imam Al-Hafidz As-Sakhawi dalam kitab Al-Maqashidul-Al-Hasanah menegaskan : “ Hadits itu tidak karuan sumbernya ! “

Imam Jalaluddin Al-Muhli, Imam As-Syamsur-Ramli, Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami, Imam Al-Qari, para ahli Fiqih madzhab Sayfi’i dan madzhab Maliki dan lain-lainnya, semuanya mengatakan : “Hadits itu sama sekali tidak benar”.

Selain hadits palsu diatas tersebut, masih ada hadits palsu lainnya yang semakna, yaitu yang berbunyi : “La tu’adzdzimuunii fil-masjid” artinya ;  “Jangan mengagungkan aku (Nabi Muhammad saw.) di masjid”.

Dalam kitab Kasyful Khufa Imam Al-Hafidz Al-‘Ajluni dengan tegas mengatakan: “Itu bathil !”.
Demikian pula Imam As-Sakhawi dalam kitab Maulid-nya yang berjudul Kanzul-‘Ifah menyatakan tentang hadits ini: “Kebohongan yang diada-adakan”.

Memang masuk akal kalau ada orang yang berkata seperti itu yakni jangan mengagungkan aku  di masjid kepada para hadirin didalam masjid, sebab ucapannya itu merupakan tawadhu’ (rendah hati). Akan tetapi kalau dikatakan bahwa perkataan tersebut diucapkan oleh Rasulallah saw. atau sebagai hadits beliau saw., jelas hal itu suatu pemalsuan yang terlampau berani.

Mari kita lanjutkan tentang hadits-hadits yang menggunakan kata sayyid berikut ini:
Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dalam Shohihnya bahwa Rasulallah saw.bersabda : “Aku sayyid anak Adam…” . Jelaslah bahwa kata sayyid dalam hal ini berarti pemimpin ummat, orang yang paling terhormat dan paling mulia dan paling sempurna dalam segala hal sehingga dapat menjadi panutan serta teladan bagi ummat yang dipimpinnya.
Ibnu ‘Abbas ra mengatakan, bahwa makna sayyid  dalam hadits tersebut ialah orang yang paling mulia disisi Allah. Qatadah ra. mengatakan, bahwa Rasulallah saw. adalah seorang sayyid yang tidak pernah dapat dikalahkan oleh amarahnya.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Majah dan At-Turmudzi, Rasulallah saw. bersabda :
Aku adalah sayyid anak Adam pada hari kiamat”. Surmber riwayat lain yang diketengahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhori dan Imam Muslim, mengatakan bahwa Rasulallah saw. bersabda : “Aku sayyid semua manusia pada hari kiamat”. 
Hadit tersebut diberi makna oleh Rasulallah saw. sendiri dengan penjelasannya: ‘Pada hari kiamat, Adam dan para Nabi keturunannya berada dibawah panjiku”.
Sumber riwayat lain mengatakan lebih tegas lagi, yaitu bahwa Rasulallah saw. bersabda : “Aku sayyid dua alam”.

Riwayat yang berasal dari Abu Nu’aim sebagaimana tercantum didalam kitab Dala’ilun-Nubuwwah mengatakan bahwa Rasulallah saw. bersabda : “Aku sayyid kaum Mu’minin pada saat mereka dibangkitkan kembali (pada hari kiamat)”.

Hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Khatib mengatakan, bahwa Rasulallah saw. bersabda: “Aku Imam kaum muslimin dan sayyid kaum yang bertaqwa”.

Sebuah hadits yang dengan terang mengisyaratkan keharusan menyebut nama Rasulallah saw. diawali dengan kata sayyidina diketengahkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak. Hadits yang mempunyai isnad shohih ini berasal dari Jabir bin ‘Abdullah ra. yang mengatakan sebagai berikut:
Pada suatu hari kulihat Rasulallah saw. naik keatas mimbar. Setelah memanjatkan puji syukur kehadirat Allah saw. beliau bertanya : ‘Siapakah aku ini ?’ Kami menyahut: Rasulallah ! Beliau bertanya lagi: ‘Ya, benar, tetapi siapakah aku ini ?’. Kami menjawab : Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul-Mutthalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf ! Beliau kemudian menyatakan : ‘Aku sayyid anak Adam….’.”  
Riwayat hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa Rasulallah saw. lebih suka kalau para sahabatnya menyebut nama beliau dengan kata sayyid. Dengan kata sayyid itu menunjukkan perbedaan kedudukan beliau dari kedudukan para Nabi dan Rasul terdahulu, bahkan dari semua manusia sejagat.

Semua hadits tersebut diatas menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulallah saw. adalah sayyid anak Adam, sayyid kaum muslimin, sayyid dua alam (al-‘alamain), sayyid kaum yang bertakwa. Tidak diragukan lagi bahwa menggunakan kata sayyidina untuk mengawali penyebutan nama Rasulallah saw. merupakan suatu yang dianjurkan bagi setiap muslim yang mencintai beliau saw.

Demikian pula soal kata Maula, Imam Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya, Imam Turmduzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah mengetengahkan sebuah hadits, bahwa Rasulallah saw. bersabda :
Man kuntu maulahu fa ‘aliyyun maulahu” artinya : “Barangsiapa aku menjadi maula-nya (pemimpinnya). ‘Ali (bin Abi Thalib) adalah maula-nya…”

Dari hadits semuanya diatas tersebut kita pun mengetahui dengan jelas bahwa Rasulallah saw. adalah sayyidina dan maulana (pemimpin kita). Demikian juga para ahlu-baitnya (keluarganya), semua adalah sayyidina. Al-Bukhori meriwayatkan bahwa Rasulallah saw. pernah berkata kepada puteri beliau, Siti Fathimah ra :

                                                                                                       يَا فَاطِمَة أَمَا تَرْضيْنَ أَنْ تَكُوْنِي سَيِّدَةَ نِسَاءِ الْمُؤْمِنِيْنَ اَوْ سَيِّدَةَ نِسَاءِ هَذِهِ الأُمَّةِ

Artinya: “Hai Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah kaum mu’minin (kaum orang-orang yang beriman) atau sayyidah kaum wanita ummat ini ?”

Dalam shohih Muslim hadits tersebut berbunyi:

                                                                                                     يَا فَاطِمَة أَمَا تَرْضيْنَ أَنْ تَكُوْنِي سَيِّدَةَ نِسَاءِ الْمُؤْمِناَتِ اَوْ سَيِّدَةَ نِسَاءِ هَذِهِ الأُمَّةِ  

Artinya : “Hai Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah mu’mininat (kaum wanitanya orang-orang yang beriman) atau sayyidah kaum wanita ummat ini ?”

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad, Rasulallah saw. berkata kepada puterinya (Siti Fathimah ra) :

 أَمَا تَرْضيْنَ أَنْ تَكُوْنِي سَيِّدَةَ نِسَاء هَذِهِ الأُمَّةِ اَوْ نِسَاءِ الْعَالَمِينَ                                             

Artinya : “…Apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah kaum wanita ummat ini, atau sayyidah kaum wanita sedunia ?”

Demikianlah pula halnya terhadap dua orang cucu Rasulallah saw. Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma. Imam Bukhori dan At-Turmudzi meriwayatkan sebuah hadits yang berisnad shohih bahwa pada suatu hari Rasulallah saw. bersabda :

 الحَسَنُ وَ الحُسَيْنُ سَيِّدَا شَبَابِ أَهْلِ الْجَنَّةِ                                    
Artinya : “Al-Hasan dan Al-Husain dua orang sayyid pemuda ahli surga”.

Berdasarkan hadits-hadits diatas itu kita menyebut puteri Rasulallah saw. Siti Fathimah Az-Zahra dengan kata awalan sayyidatuna. Demikianlah pula terhadap dua orang cucu Rasulallah saw. Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma.

Ketika Sa’ad bin Mu’adz ra. diangkat oleh Rasulallah saw. sebagai penguasa kaum Yahudi Bani Quraidah (setelah mereka tunduk kepada kekuasaan kaum muslimin), Rasulallah saw. mengutus seorang memanggil Sa’ad supaya datang menghadap beliau. Sa’ad datang berkendaraan keledai, saat itu Rasulallah saw. berkata kepada orang-orang yang hadir: “Guumuu ilaa sayyidikum au ilaa khoirikum” artinya : “Berdirilah menghormati sayyid (pemimpin) kalian, atau orang terbaik diantara kalian”.  
Rasulallah saw. menyuruh mereka berdiri bukan karena Sa’ad dalam keadaan sakit sementara fihak menafsirkan mereka disuruh berdiri untuk menolong Sa’ad turun dari keledainya, karena dalam keadaan sakit  sebab jika Sa’ad dalam keadaan sakit, tentu Rasulallah saw. tidak menyuruh mereka semua menghormat kedatangan Sa’ad, melainkan menyuruh beberapa orang saja untuk berdiri menolong Sa’ad.

Sekalipun –misalnya– Rasulallah saw. melarang para sahabatnya berdiri menghormati beliau saw, tetapi beliau sendiri malah memerintahkan mereka supaya berdiri menghormati Sa’ad bin Mu’adz, apakah artinya ? Itulah tatakrama Islam. Kita harus dapat memahami apa yang dikehendaki oleh Rasulallah saw. dengan larangan dan perintahnya mengenai soal yang sama itu. Tidak ada ayah, ibu , kakak dan guru yang secara terang-terangan minta dihormati oleh anak, adik dan murid, akan tetapi si anak, si adik dan si murid harus merasa dirinya wajib menghormati ayahnya, ibunya, kakaknya dan gurunya. Tidak ada juga seorang yang bertitel prof., Drs dan lain-lain, waktu mengenalkan namanya pada seseorang sambil menyebut titelnya tersebut. Demikian juga Rasulallah saw. sekalipun beliau menyadari kedudukan dan martabatnya yang sedemikian tinggi disisi Allah swt, beliau tidak menuntut supaya ummatnya memuliakan dan mengagung-agungkan beliau. Akan tetapi kita, ummat Rasulallah saw., harus merasa wajib menghormati, memuliakan dan mengagungkan beliau saw.

Allah swt. berfirman dalam Al-Ahzab: 6, yang artinya : “Bagi orang-orang yang beriman, Nabi (Muhammad saw.) lebih utama daripada diri mereka sendiri, dan para isteri nya adalah ibu-ibu mereka”.
Ibnu ‘Abbas ra. menyatakan: Beliau adalah ayah mereka’ yakni ayah semua orang beiman! Ayat suci diatas ini jelas maknanya, tidak memerlukan penjelasan apa pun juga, bahwa Rasulallah saw. lebih utama dari semua orang beriman dan para isteri beliau wajib dipandang sebagai ibu-ibu seluruh ummat Islam ! Apakah setelah keterangan semua diatas ini orang yang menyebut nama beliau dengan tambahan kata awalan sayyidina atau maulana pantas dituduh berbuat bid’ah? Semoga Allah swt. memberi hidayah kepada kita semua. Amin 

Ibnu Mas’ud ra. mengatakan kepada orang-orang yang menuntut ilmu kepadanya: “Apabila kalian mengucapkan shalawat Nabi hendaklah kalian mengucapkan shalawat dengan sebaik-baiknya. Kalian tidak tahu bahwa sholawat itu akan disampaikan kepada beliau saw., karena itu ucapkanlah : ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat-Mu, rahmat-Mu dan berkah-Mu kepada Sayyidul-Mursalin (pemimpin para Nabi dan Rasulallah) dan Imamul-Muttaqin (Panutan orang-orang bertakwa)”

Para sahabat Nabi juga menggunakan kata sayyid untuk saling menyebut nama masing-masing, sebagai tanda saling hormat-menghormati dan harga-menghargai. Didalam Al-Mustadrak Al-Hakim mengetengahkan sebuah hadits dengan isnad shohih, bahwa “Abu Hurairah ra. dalam menjawab ucapan salam Al-Hasan bin ‘Ali ra. selalu mengatakan “Alaikassalam ya sayyidi”. Atas pertanyaan seorang sahabat ia menjawab: ‘Aku mendengar sendiri Rasulallah saw. menyebutnya (Al-Hasan ra.) sayyid’ “.

Ibnu ‘Athaillah dalam bukunya Miftahul-Falah mengenai pembicaraannya soal sholawat Nabi mewanti-wanti pembacanya sebagai berikut: “Hendaknya anda berhati-hati jangan sampai meninggalkan lafadz sayyidina dalam bersholawat, karena didalam lafadz itu terdapat rahasia yang tampak jelas bagi orang yang selalu mengamalkannya”. Dan masih banyak lagi wejangan para ulama pakar cara sebaik-baiknya membaca sholawat pada Rasulallah saw. yang tidak tercantum disini.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar